Sudah dua hari ini saya sempatkan tidur siang di kampus, walau cuma 10 hingga 20 menit. Dengan beralaskan plastik bubble sisa bungkus buku saya dulu, saya jadi lebih fresh dan bisa bekerja lebih fokus. Pelan-pelan saya mulai kenal diri saya, kalau capek, istirahat dulu sebentar, jangan terlalu diforsir.
Proses mengenali diri sendiri itu cukup lama. Setelah mengenal diri sendiri, kita bisa lebih tahu, apa kekurangan kita dan apa kelebihan kita. Kita bukan superhero yang bisa terus menerus berjuang membela kebenaran tanpa kenal lelah. Kadang kita ada di bawah, terjatuh, dan beberapa orang mungkin perlu menghilang untuk menghilangkan kejenuhan. Sangat sangat wajar.
Yang tidak wajar adalah orang yang selalu gas pol tanpa kenal lelah, meraih kesuksesan tanpa pernah jatuh terlebih dahulu, ibarat kalau judi, menang lotere terus.
Alhamdulillah saya masih normal.
Tahun 2018 dulu, setelah saya lulus saya mendapat kesempatan untuk bisa melanjutkan postdoc di Austria, tidak saya ambil karena ada lowongan pegawai di Indonesia. Setelah menunggu 1,5 tahun, ternyata lowongan itu baru ada di 2019. Di masa penantian itu, saya coba kesana-sini apply postdoc di Australia dan Finlandia, tapi belum rejeki. Saya juga apply proposal riset di Austria, sama juga belum berhasil. Mirip sama cerita saya mencari sekolah untuk S3. Hampir 2 tahun saya habiskan. Saya apply ke Kanada, Jepang, Australia, ternyata rejeki nya di Austria. Screenshoot di bawah cuma beberapa email yang saya terima ketika saya gagal, masih banyak lagi aplikasi yang ditolak.
Apa saya sedih? Alhamdulillah saya masih normal, sedih beberapa saat, tapi saya sudah tahu caranya buat bangkit lagi. Saya sudah mulai mengenali diri saya:
jatuh itu sudah biasa, bangkit dan melanjutkan berlari itu WAJIB bisa. Kita perlu bersyukur, ujian itu tanda cintanya Allah untuk hamba-Nya. Kita hanya perlu ber husnudzon (berbaik sangka), dan yakin kalau seberat-berat ujian pasti ada jalan keluarnya.
Hari ini, 2 tahun yang lalu di Leoben, Austria, saya menelepon Abah dan Umi saya di Malang. 30 detik setelah telepon sudah terhubung, saya hanya bisa diam sambil menangis, setelah menenangkan diri saya baru bisa bilang "Alhamdulillah, saya lulus." Saya menangis karena ingat berapa puluh kali saya jatuh, orang tua saya lah yang membuat saya harus bangkit dan melanjutkan perjuangan saya. Semangat untuk bisa membahagiakan orang tua lah yang membuat saya bisa bangkit ketika jatuh dan melanjutkan untuk berlari lagi.
Belum lagi istri dan anak saya, Vidya dan Aqila yang menemani saya ketika sekolah, kepada mereka berdua lah saya harus banyak berterima kasih. Di saat saya sekolah dulu, orang tua kami berdua di Wonosobo mendapat musibah, dan saya tidak bisa memulangkan Vidya karena saya tidak mempunyai uang di rekening saya. Untuk pulang dari Austria pun, saya harus meminjam uang ke teman saya di Wina, karena memang tidak ada dana untuk kami bisa membeli tiket pulang ke Indonesia. Saya lupakan cita-cita membawa pulang sepeda, tas gunung, mainan anak dan beberapa barang pribadi yang sebenarnya sudah saya tunggu-tunggu untuk bisa dibawa pulang ke Indonesia.
Saya jatuh, saya bangkit, saya lanjutkan berlari.
2019 ini agak berbeda. Pertama kali saya mendapat mahasiswa bimbingan yang spesial. Ketika saya share cerita saya di twitter, saya kaget dengan respons yang didapat. Belum pernah twitter saya dibanjiri retweet atau likes dari orang lain
Mahasiswa saya, yang bekerja sambilan sebagai tukang cat rumah, akhirnya bisa lulus dari ITB. Alhamdulillah 2 minggu lalu dia datang ke saya dan bilang kalau sudah diterima kerja di Lahat, Sumatera Selatan. Banyak kisah yang membuat motivasi itu muncul, ada di sekitar kita, kita cuma bisa harus lebih peka dan banyak mendengarkannya.
2 minggu yang lalu juga, saya dapat notifikasi, penelitian saya yang saya ajukan akhirnya didanai oleh ITB. Hal lain, kemarin saya dapat kabar kalau saya dapat full support untuk datang konferensi di India bulan Maret tahun depan. Banyak kejutan yang kita tidak pernah tahu, dan swing mood itu memang ada. Buat saya, biarkan saja, roda itu berputar. Ga selamanya kita di bawah, ga selamanya juga kita di atas. Kita cuma perlu berusaha, apa pun hasilnya nanti.
Semua tergantung bagaimana caranya kita tahu, dimana kelemahan kita, dan apa kelebihan kita. Saya, Mas-Mbak yang lagi baca tulisan ini, semuanya bakal diuji, dengan kesenangan maupun kesusahan. Bersabar lah ketika diuji, dan jangan besar kepala ketika mendapat kesenangan.
Jatuh satu kali, dua kali, sepuluh kali, seribu kali, itu sudah biasa. Istirahat dulu, ambil nafas, setelah cukup, lakukan hal yang luar biasa. Bangkit, bangkit dan bangkit, untuk kemudian melanjutkan berlari lagi, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Seperti anak saya yang paling kecil, Kamila, yang lagi belajar berjalan. Dia jatuh, menangis, tertawa, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Pesan saya:
Jutaan orang bahkan tidak menyadari,
seberat-beratnya ujian,
masih lebih berat ujian untuk Dobleh, Jamal, Taufik, dan kabur.
Harap bersabar, ini ujian.
AYAH