6 Desember. Semalam saya diundang untuk
menghadiri acara Barbara feier yang diadakan di jurusan saya. Acara ini setahun
sekali dan masih diterapkan di kampus saya, karena Santa Barbara adalah pelindung untuk orang-orang
yang bekerja di tambang, begitu menurut kepercayaan Katolik. Lebih dari
50 orang datang, termasuk mahasiswa dan dosen. Makanan gratis, minuman bayar
sendiri, kelipatan 5€. Saya
beli kupon paling murah dan mengambil jus jeruk 0.5L seharga 1.5€. Sepertinya,
hanya saya saja yang ambil non-alkohol di malam itu.Sisa 3.5€ karena ga bisa
ditukar uang lagi, ya sudah saya bawa pulang saja daripada saya kasihkan ke
teman malah dibuat beli bir.
Selama acara, saya berbincang dengan kawan Erasmus dari Yunani dan mahasiswa
lain dari Jerman. Mbak dari Yunani mengagum-ngagumkan tempat asal dia dan
mengajak kami mampir. Pulau yang indah, dihuni hanya 300 penghuni saja dan
dihiasi oleh pemandangan laut Aegea. Teman saya berasal dari Jerman Barat,
sebuah desa kecil, hanya 800 orang saja. Giliran saya, saya cerita di kota saya
bekerja ada sekitar 3juta orang. Mereka berdua kaget. Akhirnya mereka membuka
google maps, dan terkejut kalau di Indonesia ada sekitar 13-17ribu pulau, yang
kalau dibentangkan mulai dari London sampai Istanbul.
Si kawan dari
Jerman menanyakan, berapa lama kalau pulang sampai bertemu orang tua? Saya
bilang, minimal 1,5 hari saya baru bisa bertemu, karena orang tua saya ada di
Malang. Perjalanan dari Leoben-Wina-Jakarta-Surabaya-Malang sudah cukup membuat
mereka "nggumun", jauh juga ternyata. Saya bercerita, Indonesia itu heterogen. Hampir 700 suku
bangsa, 300 bahasa, tapi minimal, semua bisa berbahasa Indonesia.
Si mbak dari Yunani itu merespon, walah,
negara saya ga ada apa-apanya dibanding Indonesia. Dia juga bercerita, ada
kawannya yang bikin pengumuman untuk bisa menikah dengan orang US atau Eropa,
supaya bisa dapat US citizenship ataupun mobility ke berbagai negara seperti
Jerman. Memang berkewarganegaraan Jerman itu enak, konon katanya paspor Jerman
adalah paspor paling hebat di dunia yang punya bebas akses ke 177 negara.
Saya, masih bersyukur dengan
kewarganegaraan Indonesia. Ada yang pernah menanyakan, "ISIS itu menurutmu
seperti apa?" Saya jawab, "ISIS itu bukan Islam. Islam itu dari kata
"Salama" yang artinya "selamat, damai", selama dia tidak
bisa menyebarkan kedamaian, dia bukan Islam. Di Al Qur'an, kami tidak pernah
diajarkan untuk membuat kerusakan di muka bumi ini, malahan harus menyebarkan
kedamaian."
Saya paham mengapa dia menanyakan itu
kepada saya. Di Eropa, beberapa kawan yang saya jumpai tidak memeluk agama.
Hidup mereka bebas, namun kadang-kadang mereka menanyakan kepada saya
tentang Islam, atau menanyakan kawan Erasmus lain dari Finlandia yang Kristen
Ortodok, karena keinginan tahu yang cukup besar. Orang-orang terdidik lebih
paham bagaimana harus bersikap terhadap perbedaan itu, itu keyakinanmu,
silahkan laksanakan dan tidak akan saya ganggu. Teman saya dari Jerman yang
besar di perkebunan anggur dan kuat minum birnya tidak berminat untuk
men-cekok-i saya dengan bir, sekali saya bilang tidak, dia paham, itu
keyakinanmu.
Saya jadi
garuk-garuk sendiri dengan pemberitaan akhir-akhir ini. Sedih rasanya ibu
pertiwi jadi runyam seperti ini. Kalau kita menempatkan permasalah pada
porsinya, jika permasalahan itu disebabkan oleh 'oknum', ya oknum itu lah yang
selayaknya di periksa secara hukum, tidak perlu menyangkut-nyangkutkan dengan
agama dari oknum tersebut.
Sama seperti pertanyaan yang diajukan ke
saya tentang ISIS, apakah ISIS itu Islam? Bukan, dia bukan Islam. Apakah Islam
mengajarkan untuk mengganggu agama lain? Tentu tidak, bagiku agamaku, bagimu
agamamu. Jadi apakah layak menempatkan segelintir orang yang 'memancing di air
keruh' dan menganalogikan menjadi keseluruhan. Nein, ini bukan
seperti peribahasa 'gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.' Ini masalah
oknum dengan aparat berwenang, yang semoga aparat bisa menyelesaikannya dengan
tepat. Jika ingin menginterogasi tentu tidak susah. Foto orang-orangnya sudah
ada, ditanya dan kalau memang bersalah ya di proses. As simple as it seems.
Saya ga mau kejadian jaman dulu terjadi
lagi. Politik adu domba yang dilakukan oleh Belanda untuk memecah belah bangsa
Indonesia. Belanda tahu kondisi saat itu yang heterogen, dimana jika menyerang
secara fisik, bisa jadi strateginya terhadap negara jajahannya tidak akan
berhasil. Tidak perlu tidak menyerang frontal secara langsung, keberagamannya
lah yang diserang. Sekarang sudah berapa puluh tahun dari kejadian devide et
impera dari Belanda, masak harus kita ceritakan kepada anak cucu kita, bahwa
kita pun sempat merasakan hidup di jaman adu domba seperti ini.
Saya merasa, di antara kita, ada orang
yang sengaja memecah belah keberagaman itu. Siapa yang menjajah? Ya anak bangsa
kita sendiri. Saya punya ide untuk menangkalnya. Mas, mbak, semua yang membaca
pasti sudah dewasa dan bisa menyikapi, apakah berita ini sudah benar, mana kantor
berita yang busuk, apakah agama ini seperti itu, silahkan dinilai sendiri. Kita
sendiri lah yang menciptakan jarak, bukan kantor berita. Semua kontrol ada di
tangan kita, kita bisa membuat orang menjauh dari kita, namun kita juga bisa
merangkul mereka untuk lebih dekat.
Kalau versinya band jadul dari Jerman
seperti ini:
Do you ever ask yourself
Is there a Heaven in the sky
Why can't we stop the fight
Cause we all live under the same sun
We all walk under the same moon
Then why, why can't we live as one
(dipopulerkan oleh Scorpion - Under the same sun)
7 Desember 2009 dulu saya
pernah menulis di laman facebook saya.
Perbedaan akan menjadikan
kita sadar, dan akhirnya mengetahui bahwa dengan saling menghargai dan
menghormati, kita bisa menjadi manusia yang dewasa.
Kalau kata om Armand
Maulana,
"Perdamaian, perdamaian,
banyak yang cinta damai,
tapi perang semakin ramai"
Mengisi kemerdekaan dengan hal yang positif itu sama beratnya dengan meraih
kemerdekaan itu dari penjajah. Indonesia itu indah karena
beragam. Sekarang sudah 2016, jadi, maju dong, masak mundur lagi.
Salam damai,
AYAH