Saya
selalu menyukai hal yang baru. Untuk tulisan kali ini, saya coba menulis blog
di dalam travel yang bergoyang-goyang, yang mengantar saya dari Bandara
Cengkareng menuju Pasteur. Kali ini saya baru saja pulang dari Jambi, kota yang
sangat ikonik dengan Candi Muaro Jambi nya. Sayangnya sudah hampir ketiga
kalinya saya berkunjung ke Jambi, saya belum sempat untuk mampir melihat
keindahan Candi tersebut, yang sebenarnya hanya berjarak 25 km dari kota Jambi.
Sudahlah, mungkin lain kali saya berkunjung kesana. Saya ga bisa menahan untuk
bisa menulis tentang eksotisme Bukit Barisan, dan berkesannya Taman Bumi
Merangin, yang baru saja saya kunjungi sejak Jumat hingga Senin yang lalu.
Setiap saya berkunjung ke Bukit Barisan, saya selalu dibuat terkagum-kagum dengan flora fauna nya. Di daerah yang berkontur ga sekolah ini, saya pernah lihat bekantan, kalajengking, bunga bangkai, jelatang, semut raksasa, burung yang berwarna biru, dan juga bekas dari cakaran beruang. Dan tiap kesini, selalu ada pacet yang menempel di badan saya, yang kali ini mampir ke perut saya. Untungnya saya belum pernah bertemu dengan jejak harimau. :D
kekejaman pacet yang menempel tepat di perut, di baju lapangan saya
Pada eksplorasi bijih besi kali ini, saya tidak akan
membahas terlalu dalam tentang bijih besi, karena saya pun kurang begitu
tertarik dengan mineral pembawa unsur besi seperti magnetit, hematit, limonit,
dan goetit/lepidocrocit. Saya lebih tertarik dengan batuan dan mineral lain
yang saya jumpai di lokasi tersebut, yaitu batuan granit dan mineral topaz.
Ada
apa dengan Granit? Batuan beku yang tergolong batuan beku asam ini berwarna cerah,
di dominasi oleh mineral kuarsa, dan sangat lazim dijumpai di daerah yang
mempunyai mendala metalogenik (metallogenic
provine) dengan karakteristik yang relatif mencirikan endapan yang bertipe
asam, seperti di Kepulauan Bangka Belitung yang kaya akan timah, yang mempunyai
batu-batu yang berukuran sangat besar yang membentang di sepanjang pulau di
daerah tersebut. Batuan granitik
merupakan batuan yang menjadi asal endapan timah, baik yang terbentuk secara
primer maupun sekunder, serta menjadi sumber bagi munculnya kasiterit sebagai
mineral pembawa timah, serta mineral-mineral logam tanah jarang seperti rutil, xenotime,
monasit. Sudah berkali-kali saya mengamati mineral-mineral tersebut di bawah
mikroskop, namun memang karena keterbatasan saya, sering saya lupa, mana mineral
kasiterit, ilmenite, apalagi monasit dan xenotim, hehehe. Cukup untuk cerita
granit, sekarang saya beralih ke topaz.
Topaz, merupakan mineral yang termasuk tipe mineral silikat,
yang mempunyai rumus kimia Al2SiO4(F,OH)2. Mineral
ini dicirikan oleh habitnya yang orthorhombic, yaitu salah satu kelas dari kristal
yang menunjukkan bahwa panjang sumbu a,b dan c dari mineral ini saling tegak
lurus, namun tidak sama panjang. Apa itu sumbu a,b, dan sumbu c? Sekarang kita
coba bayangkan ruang tiga dimensi,sebut
saja balok. Nah, kalau di bagian sumbu tengah dari ruang tersebut kita buat
garis yang tegak lurus ke depan, kanan, dan atas, itulah analogi dari sumbu a,b
dan c pada kristal. Kembali ke topaz. Apa yang menarik dari topaz yang akan
saya ceritakan?
Topaz merupakan mineral yang mempunyai kilap kaca, mempunyai
kekerasan mohs 8, dengan warna gores di papan gores (papan gores adalah suatu
papan yang terbuat dari porselen, umum digunakan untuk melihat warna mineral
untuk menjelaskan sifat fisiknya)
berwarna putih. Dengan sifatnya yang cukup keras ini, maka mineral ini dapat
dipergunakan sebagai batu mulia. Sebagai informasi, untuk menentukan kriteria
sebagai batu mulia, kita cukup mengetahui yang disebut sebagai skala Mohs, atau
skala kekerasan relatif dari mineral. Metode ini digunakan untuk mengetahui,
seberapa keras mineral yang kita lihat dibanding dengan mineral atau benda
lain. Secara berurutan, skala mohs dari 1-10 adalah sebagai berikut.
Skala mohs 1: talk
Skala mohs 2: gypsum
Skala mohs 3: kalsit
Skala mohs 4: fluorit
Skala mohs 5: apatit
Skala mohs 6: feldspar
Skala mohs 7: kuarsa
Skala mohs 8: topaz
Skala mohs 9: korundum
Skala mohs 10: intan
Skala Mohs Relatif:
Kuku: 2.5
Kaca: 5.5
Ujung pisau lipat atau paku besi:6.5
Dari kekerasan tersebut, kita bisa uji, dimana mineral keras
pasti bisa menggores mineral dengan skala mohs lebih rendah, namun mineral dengan
skala mohs rendah tidak akan bisa menggores mineral yang lebih keras. Hal ini
yang bisa kita aplikasikan, untuk mengetahui batu mulia yang kita miliki asli
atau tidak. Caranya? Ya tinggal goreskan saja ujung pisau atau paku besi ke
mineral tersebut. Kalau tergores, ya berarti skala mohs nya lebih rendah dari 6.5.
Begitu lah kalau teman-teman berniat beli intan, minta izin sama mas yang jual,
terus gores aja sama pisau. Hal itu yang terjadi dengan layar hp dan gps saya,
yang keduanya kegores ketika saya menyimpan keduanya bersama-sama dengan sampel
kuarsa dan topaz yang saya ambil selama di lapangan. Jadiiiii, setelah membaca
penjelasan di atas, saya berkesimpulan bahwa topaz cocok untuk dijadikan batu mulia, karena tidak mudah tergores (udah
dari dulu kali topaz dijadikan batu mulia, hehehe).
Nah, beralih ke cerita kedua tentang kunjungan saya di
Jambi, yaitu tentang Geopark Merangin. Memang belum banyak orang yang tahu, apa
sih sebetulnya Geopark itu sendiri. Saya pun sempat dibuat kebingungan, tiap
kali saya tanya orang di Bangko (ibu kota Kabupaten Merangin) tentang lokasi
Geopark tersebut. Penunjuk jalan menuju lokasi itu pun sangat minim. Walhasil
saya pun tersasar di tempat wisata lain, yang sebetulnya termasuk bagian dari
Geopark Merangin tersebut. Saya malah mengetahui lokasi itu karena saya melihat
ada poster caleg yang mencantumkan Geopark di salah satu posternya. Ngglethek kalo kata orang Malang bilang.
Apa yang bisa dinikmati dari Geopark tersebut? Kalau harus
dibuat prioritas, maka yang pertama adalah fosil, yang kedua adalah wisata air,
dan yang ketiga adalah air terjunnya.Itu berdasarkan prioritas saya ya, karena
tujuan saya adalah melihat fosil yang terawetkan bukan pada batugamping, tapi
di batulumpur. Fosil kayu Araucaraxylon,
yang saya pun baru tahu kalau itu tumbuhan yang masih tumbuh secara insitu
sejak hampir 300juta tahun yang lalu hingga sekarang.
Perbandingan (Araucaraxylon di Natur Historische Museum, Wina, Austria-Sept 2015)
===============================================================
Sedangkan fosil tumbuhan dan
daun yang dijumpai adalah fosil dari Macralethopretis
sp, Cordaites sp, Calamites sp, Pecopteris sp, Lepidodendron dan lain-lain.
Saya memang bukan paleontolog, sehingga
saya tidak terlalu paham tentang jenis-jenis fosil tersebut, namun saya sangat excited dan menikmati kebodohan saya
ketika memegang fosil-fosil tersebut.
Sangat disayangkan, ketika saya datang
dan berkunjung di lokasi tersebut, ada sepasang remaja yang sedang mojok di air terjun, yang menurut saya
bisa menjadi sampah masyarakat dan kalau dibiarkan bisa menggangu citra dari
tempat wisata tersebut.
Geopark yang
terletak di Desa Air Batu saat ini sudah diresmikan secara nasional untuk menjadi
Geopark nasional pada akhir tahun 2013 yang lalu, namun sekarang, daerah ini
masih menunggu hasil kunjungan dari tim UNESCO, yang akan sedang merapatkan
mengenai status geopark tersebut untuk dijadikan geopark yang terintegrasi
dengan geopark lain di dunia.
Saya sendiri juga agak kecewa, karena pada saat saya datang untuk
melihat fosil-fosil tersebut, air sungai Merangin sedang deras-derasnya, karena
ternyata di hulu Sungai Merangin yang ada di Gunung Kerinci, ternyata sedang
pasang karena hujan deras pada saat semalam sebelum saya datang. Sungai pun
menjadi keruh, sehingga merendam fosil-fosil yang mayoritas berada di dekat air
terjun.
Fosil kerang dan fosil Brachipoda tidak bisa saya lihat di lokasi,
menurut informasi memang tenggela, namun untuk Brachiopoda, mungkin sudah diamankan oleh Badan
Geologi mengingat kalau tidak diamankan, fosil tersebut bisa kapan saja diambil
dan dicongkel oleh orang-orang jahil. Tidak masalah saya tidak bisa melihatnya,
namun saya sudah sangat puas karena pemandu arung
jeram saya sudah membantu mengingatkan bahwa fosil itu boleh dilihat, boleh
dipegang, namun tidak boleh diambil menggunakan palu dan yang lain. Papan
informasi oleh Badan Geologi cukup komunikatif, menunjukkan informasi mengenai
kondisi geologi di masing-masing lokasi, yang menunjukkan di daerah ini telah
siap untuk dijadikan sebagai Taman Bumi.
Untuk melihat fosil tersebut, beberapa tempat memang bisa
dijangkau dengan berjalan kaki dari Desa Air Batu, namun untuk melihat fosil
secara keseluruhan, memang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan perahu karet
dengan sewa sekitar Rp 400.000,- Rp 500.000,- sekali jalan. Satu perahu umumnya
bisa dinaiki oleh 4 orang tamu dengan 4-5 orang lain sebagai pendayung. Berbeda
dengan arung jeram di Citarik, maupun body rafting di Citumang maupun Green Canyon, yang bisa kita nikmati
dengan panduan dari pemandu, di lokasi ini, tamu harus memegang erat-erat tali tambang
berukuran besar yang ada di perahu, mengingat jeram di anak sungai dari Danau Kerinci
ini sangat besar dan berbahaya.
Di akhir pengarungan, fosil kayu kersik (orang lain bilang
sebagai Opal kayu), yang terbentuk akibat proses silisifikasi. Apa itu
silisifikasi? Silisifikasi adalah proses presipitasi dari larutan kaya silika
ke benda lain (dalam hal ini kayu), sehingga ketika larutan itu membeku,
tekstur kayu masih terlihat jelas dan terawetkan. Umumnya, fosil kayu ini
digunakan oleh orang-orang untuk dijadikan ornament di rumahnya, karena
bentuknya yang indah. Namun hal yang sangat disayangkan,harga dari sungkai, sebutan dari fosil kayu di
daerah ini sangat murah, hanya Rp 500,- untuk per kilonya. Gilaa… Padahal,
konon katanya, Geopark yang berlokasi di Spanyol, yang mempunyai keunikan oleh
fosil kayunya, ternyata sumbernya berasal dari Merangin. Hmmm, untuk hal yang
ini, perlu ada klarifikasi lebih lanjut, karena saya hanya mendapat info dari
penduduk lokal, yang mendapatkan arahan konservasi dari tim Badan Geologi yang
berkunjung untuk membuka mata warga terhadap potensi konservasi kayu kersik
yang bisa salah asuhan. Eksploitasi terhadap sumber daya alam harus mengenal kata
bijaksana, karena sifatnya yang tidak terbarukan, sehingga kelak anak cucu kita
tidak dapat menikmati apa yang kita lihat saat ini.
Tulisan ditulis sejak KM 0 Tol dalam Kota Jakarta, baru selesai di KM135, persis di antrian tol keluar Pasteur, Bandung. Whooosaaah…..