Freiberg, Jerman. Di kota ini, berdiri sekolah tambang tertua di dunia. Tahun 2015 lalu, TU Freiberg (Technische Universitaet Freiberg) baru saja berulang tahun ke-250. Di kampus ini, cikal bakal salah satu cabang ilmu geologi berawal. Georgius Agricola, bapak geologi ekonomi, menuliskan sebuah buku, De Re Metallica. Buku berisi tentang dasar-dasar ilmu geologi, penambangan dan metalurgi. Di kampus ini, mineralogis yang saya kagumi, Freidrich Mohs juga pernah menimba ilmu. Ini menjadi alasan mengapa undangan untuk menghadiri sebuah konferensi di bidang geologi ekonomi tidak boleh dilewatkan. Sebagai perbandingan, tahun 2015 yang lalu, sekolah tambang tempat saya belajar sekarang di Austria berumur 175 tahun, dan jurusan Teknik Pertambangan tempat saya belajar di Indonesia tahun lalu berumur berumur 60 tahun.
Transisi dari Tambang Logam Dasar menjadi Logam Kritikal
Kota ini bisa berkembang menjadi sekolah tambang karena tidak jauh dari kota ini, terdapat tambang bawah tanah logam dasar (base metal) seperi timbal dan seng, bernama Reiche Zeche. Awal mulanya, mereka menambang bijih galena. Namun, lama kelamaan, mereka mendapatkan galena (PbS) dan seng yang diekstrak dari sfalerit (ZnS), serta mineral ikutan perak seperti freibergit.
Saat ini, tambang hanya dijalankan di beberapa shaft (sebutan untuk terowongan) saja, tidak lebih dari 5 orang yang menambang disana. Di dalam tambang ini, semua mahasiswa teknik pertambangan wajib melakukan praktikum pengeboran menggunakan jackhammer di salah satu dinding terowongannya. Sama seperti yang dilakukan oleh teman-teman yang mendalami opsi Tambang Umum di ITB, bedanya di Indonesia mengebor batu marmer, sedangkan di Freiberg mereka mengebor batuan yang lebih keras, gneiss.
Gneiss merupakan salah satu batuan yang sangat keras. Di era 1800-an, penambang menggunakan palu dan pasak (bukan beliung) untuk melubangi tambang. Karena batuan disini sangat keras dan mempunyai kemampuan untuk menyangka kestabilan ketika dilakukan ekskavasi, hampir semua lubang tidak perlu diperkuat dan diberikan penyanggaan. Hanya beberapa bagian yang menjadi jalur akses utama diberi penyanggaan dengan jaring-jaring maupun shotcrete. Hal ini menjadi satu alasan, di jaman dulu, di beberapa segmen terowongan dengan batuan samping yang sangat keras, penambang hanya bisa melanjutkan kemajuan tambang dalam 40 cm per bulan. Dan, disinilah tambang bawah tanah tersempit yang pernah saya masuki, dibandingkan beberapa tambang bawah emas bawah tanah di Indonesia. Sekitar 50cm x 75 cm. Beruntunglah, walaupun tinggi badan saya (170cm) masih lebih pendek dibanding rata-rata bule, saya bersyukur masih bisa "mberosot" di dalam Reiche Zeche.
Tambang sudah tidak dioperasikan, namun dijadikan sebagai riset untuk studi logam kritis (critical metal), seperti galium, germanium, indium. Sebagai informasi, EU (Uni Eropa - Europe Union), mengklasifikan logam-logam ini sebagai logam kritis, antara lain:
Indium (In), Germanium (Ge), Tantalum (Ta), PGM (platinum group metals seperti Ruthenium (Ru), Platinum (Pt) and Palladium (Pd)), Tellurium (Te),
Cobalt (Co), Lithium (Li), Gallium (Ga) dan REE (rare earths element). Logam ini disebut kritis karena saat ini hanya beberapa negara memiliki sumberdaya tersebut. Sebagai contoh:
- 92% produksi konsentrar tanah jarang (rare earth concentrate) dimonopoli oleh Cina
- 80% produksi palladium hanya berasal dari Rusia dan Afrika Selatan
- 72% produksi platinum berasal dari Afrika Selatan
Apa arti angka-angka itu? Jika terjadi monopoli suatu komoditi tambang dari logam kritis, maka harga dari komoditas bisa melambung tinggi. Efeknya berbeda dengan logam berharga lain, seperti emas, perak dan tembaga, yang kelimpahannya di alam masih lebih banyak dan banyak negara yang memproduksinya. Di Freiberg, riset terkini yang sedang digarap adalah studi mengenai geologi, mineralogi, ekstraksi logam kritikal (galium, germanium, indium) dari sfalerit. Salah satu ekstraksi yang akan diterapkan adalah bio-leaching, dimana logam diekstraksi dengan bantuan bakteri yang secara endemik tinggal di daerah tersebut.
Koleksi Mineral Terlengkap di Dunia
Freiberg sangat spesial di mata mineral kolektor. Koleksi semua mineral di dunia tersusun rapi di kastil tua bernama Schloss Freudenstein, dan dipamerkan dalam museum yang bernama Terra Mineralia. Koleksi dipamerkan dalam 5 lantai, disusun per masing-masing benua. Koleksi yang membuat saya kagum adalah koleksi mineral yang memendarkan sinar fluoresens. Sebagai informasi, beberapa mineral seperti scheelite, fluorit berpendar karena disinari sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet terdiri dari dua panjang gelombang, gelombang pendek (panjang gelombang 100-280 nm) dan gelombang panjang (315-400 nm). Ada referensi yang menuliskan gelombang tengah, yaitu sinar UV dengan panjang gelombang di antara gelombang pendek dan panjang.
Prinsipnya, foton yang dilepaskan oleh sumber cahaya (misalkan senter UV) akan membuat elektron yang ada di mineral secara temporer ter-eksitasi dari kulit mineral ke kulit orbital yang lebih dalam. Setelah itu, elektron yang ter-eksitasi akan kembali ke posisi kulit semula dan akan memancarkan foton dengan panjang gelombang yang lebih panjang dan ditangkap oleh mata kita.
Unknown Judges in Conference
Hal yang harus saya apresiasi dari konferensi ini, adalah adanya penilaian dari sesama partisipan, bukan dari juri atau moderator. Mereka menilai tentang kemampuan kita berkomunikasi di depan umum, materi yang kita presentasikan, dan hal-hal lain yang bermanfaat untuk "menambah jam terbang" berbicara di depan umum. Hal ini tidak disampaikan di muka umum, namun lebih dalam suatu lembar kertas, yang akan dimasukkan ke dalam amplop dan diberikan kepada presenter ketika acara sudah berakhir.
Apa manfaatnya? Presenter tidak akan dipermalukan ketika dia tidak dapat mempresentasikan topiknya dengan tidak maksimal, dan akan mendapat apresiasi dari pendengar jika memang hasil penelitiannya baik. Di akhir sesi konferensi, peserta mendapatkan 1 vote untuk memilih presenter terbaik. Saya rasa, hal ini bisa juga diterapkan di proses belajar mengajar maupun presentasi mahasiswa, untuk mendapatkan feedback yang obyektif, bukan subyektif.
Cerita pendek dari guru saya di Tambang Eksplorasi ITB. Di akhir perkuliahan, mahasiswa memang harus mengisi kuesioner tentang perkuliahan selama satu semester. Namun, beliau meminta mahasiswa juga menuliskan kesan dan saran selama mengajar. Setelah 5-10 menit, semua saran dikumpulkan dan dibaca di kelas, dan beliau menanggapi saran tersebut. Setelah semua selesai dibaca, kertas dirobek dan dibuang ke tempat sampah. Beliau menerima semua saran, melakukan introspeksi untuk perkuliahan tahun depannya, dan yang paling penting, no hurt feeling.
Sistem evaluasi personal itu belum pernah saya dapat di konferensi yang saya datangi selama ini. Saya rasa pesan ini baik dan tidak ada salahnya diaplikasikan. Hal seru yang saya dapat disini, "setelan peserta" konferensi sangat rileks. Saya pernah mendatangi seminar, pembicaranya memakai celana pendek. Disini memang tidak ada yang memakai celana pendek (karena sedang winter), namun beberapa memakai sweater atau jaket dan kaos oblong ketika membawakan presentasi. Saya sendiri memilih memakai jas (sayang sudah dibawa dari Indonesia kalau engga dipakai) dipadukan dengan sepatu lari hitam bermotif hijau.
1000 kawan itu kurang, 1 musuh itu kebanyakan
Saya bersyukur, saya pergi menggunakan mobil bersama kawan saya, Sabrina dan Sonja ke kota ini. Jaraknya cukup jauh, 700 km dan ditempuh dalam 7 jam, full di jalan tol. Menyenangkan? Iya karena cepat, tapi bosan karena pemandangannya hampir sama selama itu. Berkat pergi bersama mereka, biaya transportasi bolak balik jauh lebih murah dibandingkan harus berangkat sendiri dengan menggunakan bus, kereta maupun pesawat. Seperti peribahasa, you never get lunch for free, sama seperti ketika saya di Indonesia, tidak semua konferensi bisa didatangi dengan gratis. Saya sendiri tidak masalah, karena saya anggap ini sebagai investasi saya. Istri juga tidak berkeberatan, jadi lanjut saja.
Foto di depan KTB Windischenbach dengan Sabrina dan Sonja. Bor sedalam 9 km ini untuk diperuntukkan untuk studi kontinen di Eropa Tengah, dilakukan oleh GFZ. Foto milik Sonja Schwabl
Di Freiberg, saya juga menumpang di apartemen kawan saya di Bandung, Pherto Rimos. Dia sedang menempuh studi magister di Freiberg. Dia sangat baik, ketika pertama kali saya menginjak kaki di kota saya di Leoben yang sedang badai salju dengan suhu -10 derajat, saya dijemput dan diantarkan sampai apartemen saya. Saya masih ingat, ketika saya pertama kali datang ke Austria, saya membawa sampel penelitian dan barang pribadi hampir seberat 50 kg. Entah gimana rasanya kalau tidak ada teman ketika itu. Saya doakan dia segera selesai menulis tesisnya tahun ini. Amin..
Cerita tentang overbagasi hampir 15 kg juga unik. Di Soekarno Hatta, saya sempat was-was karena tas jinjing saya (maaf, saya anti bawa koper) sangat berat, karena berisi batu. Saya jelaskan kelebihan bagasi itu untuk penelitian saya dan alhamdulillah bisa diberikan penambahan bagasi karena status mahasiswa saya. Saat itu saya membawa surat dari kampus tentang sampel yang saya bawa, dan saya berdiskusi dengan koordinator dari check in counter di bandara (bukan dengan bagian kounter). Setelah berdiskusi tidak lama, paspor saya difoto kopi dan saya diberikan ekstra bagasi oleh maskapai Garuda. Alhamdulillah...
Sepertinya sudah menjadi rahasia umum, kalau kemudahan bisa berasal dari jalan yang tidak pernah kita duga sebelumya.
Kalau bisa dipermudah, kenapa dibuat susah?
Kalau bisa membantu, kenapa tidak dilakukan?
Kalau bisa sekarang, kenapa menunggu besok?
1000 kawan itu kurang, 1 musuh itu kebanyakan.
Wah.. seru sekali pengalamannya Mas Andy, banyak hal yang didapat. saya juga suka ke museum. 700 km kalo di indonesia, apalagi sumatra bisa seharian lebih :) untung di eropa transportasinya udah maju..
ReplyDeleteUntung lagi orang indo badannya gak segede orang eropa yah, lebih lincah kalo di dalam tambang
salam kenal mbak Isna. Iya, tapi lebih menarik di Indonesia, 700 km yang dilihat beda-beda. Makasih buat testimoninya
Deletesaya cowo, mas Andy :)
Deletehahaha,,,maap :p
DeleteGood story
ReplyDelete